Senin, 06 Mei 2013

REVIEW 1 : ABSTRAK, PENDAHULUAN SEMANGAT UNDANG-UNDANG NOMOR 5

TINJAUAN PENGECUALIAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999
BAGI USAHA KECIL DAN KOPERASI
Hasan Jauhari*)

Abstrak


Saat ini sekitar 60 negara dari 200an negara di dunia ini telah memiliki
undang-undang anti monopoli atau undang-undang yang mengatur tentang
larangan praktek persaingan usaha yang tidak sehat, sebagai upaya pengaturan
ekonomi yang mengarah pada meningkatkan efisiensi, mewujudkan iklim usaha
yang kondusif serta upaya menjamin kesejahteraan masyarakat. Indonesia telah
memiliki undang-undang yang mengatur persaingan usaha yaitu Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini melarang beberapa bentuk
perjanjian dan kegiatan praktek bisnis serta posisi dominan dari suatu
perusahaan. Disamping itu undang-undang ini memberikan pengecualian
kepada usaha kecil dan koperasi yang melayani angotanya dari praktek yang
dilarang. Lalu apakah pengecualian ini merupakan hal yang semestinya
diberikan kepada usaha kecil dan koperasi, bagaimana memaknai pengecualian
ini agar tidak menimbulkan persoalan lain dalam pemberdayaan usaha kecil
dan koperasi, apa konsekuensinya bila usaha kecil dan koperasi melakukan
praktek yang dilarang sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut,
mampukah usaha kecil dan koperasi memanfaatkan pengecualian ini sebagai
strategi berkompetisi. Tulisan ini mengetengahkan tinjauan dalam memaknai
pengecualian yang diberikan oleh undang-undang tersebut serta membahas
konsekuensinya bagi pemberdayaan usaha kecil dan koperasi.


Persaingan, pengecualian UU 5/1999, pemberdayaan, usaha kecil
dan koperasi


I. Pendahuluan

Persaingan adalah sebuah keniscayaan bagi setiap perusahaan termasuk
bagi usaha berskala kecil sekalipun dalam derajat yang berbeda-beda. Pada
kasus usaha berskala besar persaingan yang tidak wajar dapat berakhir pada
munculnya kekuatan monopolistik, sementara pada usaha berskala kecil
persaingan boleh jadi tidak begitu disadari. Persainganlah yang mendorongberkembangnya inovasi, kreatifitas dan efisiensi sudah memberikan pilihan produk
dan jasa yang lebih banyak bagi masyarakat. Manakala persaingan yang tidak
wajar berlaku dan kekuatan monopoli muncul, maka sering dikatakan saatnya
bisnis telah berakhir. Oleh karena itu persaingan yang sehat adalah baik bagi
masyarat dan perlu didorong, sementara monopoli dan praktek bisnis yang tidak
sehat perlu dilarang.
Sudah menjadi keyakinan umum bahwa sistem ekonomi pasar yang
menjunjung tinggi kaidah persaingan yang sehat akan menjamin efisiensi ekonomi
dan kesejahteraan bagi masyarakat. Melalui mekanisme persaingan yang sehat
alokasi sumberdaya ekonomi akan terjadi secara efisien sehingga masyarakat
akan diuntungkan dan industri diharapkan mampu menghadapi persaingan global.
Dalam dunia nyata kondisi pasar dalam persaingan sempurna tentu
tidaklah mungkin terjadi sepenuhnya karena dalam kenyataannya tetap saja
terjadi asimetri informasi yang diterima oleh konsumen, tidak terjadinya substitusi
sempurna atas barang dan jasa, karena produsen masih saja memiliki ruang
untuk melakukan diferensiasi. Namun demikian, kondisi pasar yang mendekatipersaingan sempurna diyakini akan baik bagi kesejahteraan masyarakat. Pasar
seperti ini mendekati kondisi zero profit yang dikenal sebagai struktur pasar
monopolistic competition.
Sebaliknya struktur pasar yang monopolis cenderung menyebabkan tidak
efisiennya alokasi sumberdaya, karena secara teoritis dalam menetapkan
maksimalisasi keuntungan perusahaan biasanya melakukan tindakan yang
berasosiasi dengan pembatasan jumlah produk yang dipasarkan dan penetapan
harga jual yang lebih tinggi. Bukan saja posisi dominan sebagai monopolis yang
merugikan masyarakat, namun lebih dari itu praktek persaingan yang tidak sehat
yang saling mematikan justru yang menyebabkan iklim usaha tidak kondusif.
Oleh karenanya setiap negara cenderung untuk memiliki undang-undang anti
monopoli atau undang-undang yang melarang persaingan usaha yang tidak sehat. Sebelum adanya undang-undang anti monopoli, biasanya praktek
perjanjian serta kegiatan yang dilarang justru banyak dijumpai sebagai strategi
yang dipakai oleh perusahaan untuk tetap tumbuh dan berkembang dalam
suasana persaingan. Bagi badan usaha yang terkena pengecualian dari
pelarangan sebagaimana diatur dalam undang-undang larangan praktek monopoli,
tentu masih tetap dapat menggunakan strategi yang notabene dilarang sebagai
strategi bersaing untuk tetap bertahan dan berkembang.
Keberadaan undang-undang anti monopoli tentu akan mendorong
terciptanya iklim persaingan yang sehat diantara usaha berskala besar dan
menengah serta memberikan kesempatan bagi usaha kecil dan koperasi untuk tetap dapat tumbuh dan berkembang tanpa harus takut mati karena praktek
bisnis yang tidak fair yang dilakukan oleh usaha berskala besar. Dengan kata
lain untuk terhindar dari ungkapan yang menyatakan bahwa gajah bertarung
pelanduk mati di tengah.
Dalam menilai suatu kegiatan bisnis yang dianggap melanggar ketentuan,
biasanya digunakan dua kaidah dasar yaitu perse illegal dan menggunakan
kaidah role of reason. Dalam mengunakan kaidah perse illegal jelas tanpa
memerlukan argumentasi apapun suatu kegiatan bilamana dinyatakan terlarang
maka akan tetap dinyatakan terlarang. Sementara dalam kaidah role of reason,
suatu kegiatan yang terlarang boleh jadi masih dianggap legal bila ada alasanalasan
tertentu yang dapat diterima, misalnya kegiatan memonopoli masih
diperbolehkan karena alasan inovasi yang langka.
Cukup menarik bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
memberikan pengecualian kepada usaha kecil dan koperasi dari pelarangan
yang diatur dalam undang-undang tersebut sebagaimana tertera pada Bab IX,
pasal 50, butir h dan i dengan kalimat sederhana yang berbunyi yang dikecualikan
dari ketentuan undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pelaku usaha yang
tergolong dalam usaha kecil atau kegiatan koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya. Pengecualain ini tentu memiliki banyak implikasi
diantaranya bagaimana memberikan penafsiran yang pas sehingga tidak keluar
dari philosopi dasarnya untuk tidak merugikan masyarakat serta bagaimana
implikasinya bagi upaya pemberdayaan usaha kecil dan koperasi. 





II. Semangat Undang-Undang Nomor 5

Secara umum Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 lahir dalam
rangka mendorong persaingan yang sehat sehingga iklim berusaha lebih fair,
dan kondusif untuk menjamin industri yang kompetitif bisa tumbuh dan
berkembang serta kesejahteraan masyarakat lebih terjamin. Undang-undang
Nomor 5 tahun 1999 pada dasarnya melarang tiga hal pokok yaitu a) perjanjian
yang dilarang, b) kegiatan yang dilarang serta c) posisi dominan dalam pasar.
Pelaku usaha yaitu usaha besar dan menengah dilarang melakukan
perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengendalikan produksi
atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang dapat menyebabkan
terjadinya praktek memonopoli atau terjadinya persaingan usaha yang tidak
sehat. Sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam undang-undang tersebut
maka hanya usaha besar dan menengah saja yang terkena larangan, karena
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 secara tegas memberikan pengecualian
kepada usaha kecil dan koperasi.
Perjanjian yang dilarang oleh undang-undang ini adalah a) membuat
perjanjian penetapan harga jual suatu produk atau jasa, b) melakukan diskriminasi
harga, c) melakukan boikot, d) membuat perjanjian tertutup, e) industri yang
berbentuk oligopoli, f) melakukan predatory pricing, g) melakukan pembagian
wilayah, h) membentuk kartel, i) melakukan praktek trust, serta j) membuat
perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan terjadinya
persaingan usaha yang tidak sehat. Disamping adanya pelarangan atas perjanjian
dan perilaku tertentu juga dilarang praktek yang memanfaatkan posisi dominan
dalam pasar. Semua praktek yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 secara universal diyakini sebagai bentuk yang tidak fair karena
tindakan tersebut akan mengarah pada terciptanya struktur pasar yang
monopolistik.
Dalam pasar yang monopolistik baik tindakan yang dilakukan oleh
perusahaan akan berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat yang dapat
dijelaskan antara lain sebagai berikut:

1. Perusahaan secara sepihak menetapkan harga jual produk lebih tinggi
dengan cara membatasi produk yang dijual dalam rangka memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya, bandingkan seandaimya pasar berbentuk
kompetisi sempurna, konsumen akan menikmati harga lebih rendah karena
barang yang tersedia di pasar juga lebih banyak bukan saja jumlahnya tetapi juga variasinya, karena produsen cenderung melakukan deferensiasi

2. Perusahaan melakukan diskriminasi harga kepada konsumen dengan
mengeksploitasi kesediaan konsumen membeli produknya. Bila hal ini
dilakukan oleh perusahaan (penjual), maka perusahaan akan memperoleh
semua surplus konsumen yang seharusnya dinikmati oleh konsumen. Hal
ini terjadi karena harga jual perusahaan monopoli dengan menggunakan
kaidah MR=MC sebenarnya masih lebih rendah dari pada tingkat harga
kesediaan sebahagian konsumen untuk membayar

3. Cenderung kurang adanya dorongan bagi perusahaan monopoli untuk
melakukan inovasi pengembangan produknya karena tidak memiliki pesaing.
Padalah inovasi yang intensif sangat diperlukan dalam rangka memenuhi
kebutuhan konsumen yang terus berkembang.


4. Sumberdaya tidak dialokasikan dan dimanfaatkan secara efisien baik sebagai
akibat pembatasan produksi oleh perusahaan monopoli, maupun sebagai
akibat tingginya barriers to entry, sehingga sumberdaya tidak tergarap
oleh calon perusahaan lain.


5. Perusahaan monopoli acapkali berasosiasi pula dengan perilaku yang tidak
fair seperti predatory pricing, penetapan harga yang mematikan bagi
usaha lain yang berarti menghalangi kesempatan berusaha, menciptakan
disparitas antar pelaku, menyebabkan pengangguran, kemiskinan dan
dampak negatif sosial ekonomi ikutan lainnya.


SUMBER : http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2030/4_tinjauan_pengecualian.pdf

NAMA : RANDI DW PUTRA
NPM : 25211843
KELAS : 2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar