Senin, 30 April 2012

Peran Sektor Luar Negeri Pada Perekonomian Indonesia


Perdagangan antar negara

Efek Perdagangan Internasional terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang menonjol adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada juga wacana lain mengenai pengangguran, inflasi atau kenaikan harga barang-barang secara bersamaan, kemiskinan, pemerataan pendapatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi menjadi penting dalam konteks perekonomian suatu negara karena dapat menjadi salah satu ukuran dari pertumbuhan atau pencapaian perekonomian bangsa tersebut, meskipun tidak bisa dinafikan ukuran-ukuran yang lain. Wijono (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan.
Salah satu hal yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan adalah perdagangan internasional. Salvatore menyatakan bahwa perdagangan dapat menjadi mesin bagi pertumbuhan ( trade as engine of growth, Salvatore, 2004). Jika aktifitas perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan. Tambunan (2005) menyatakan pada awal tahun 1980-an Indonesia menetapkan kebijakan yang berupa export promotion. Dengan demikian, kebijakan tersebut menjadikan ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan.

Ketika perdagangan internasional menjadi pokok bahasan, tentunya perpindahan modal antar negara menjadi bagian yang penting juga untuk dipelajari. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Vernon, perpindahan modal khususnya untuk investasi langsung, diawali dengan adanya perdagangan internasional (Appleyard, 2004). Ketika terjadi perdagangan internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan kemungkinan untuk memindahkan tempat produksi. Peningkatan ukuran pasar yang semakin besar yang ditandai dengan peningkatan impor suatu jenis barang pada suatu negara, akan memunculkan kemungkinan untuk memproduksi barang tersebut di negara importir. Kemungkinan itu didasarkan dengan melihat perbandingan antara biaya produksi di negara eksportir ditambah dengan biaya transportasi dengan biaya yang muncul jika barang tersebut diproduksi di negara importir. Jika biaya produksi di negara eksportir ditambah -biaya transportasi lebih besar dari biaya produksi di negara importir, maka investor akan memindahkan lokasi produksinya di negara importir (Appleyard, 2004).


-Kebijaksanaan Perdagangan Luar Negeri dari Pelita ke Pelita

Kebijaksanaan pengembangan perdagangan luar negeri meli- puti kebijaksanaan ekspor dan kebijaksanaan impor. Dalam Re¬-pelita IV kebijaksanaan ekspor diarahkan untuk meningkatkan penerimaan devisa dan perluasan kesempatan kerja melalui pe¬ningkatan ekspor dan produksi untuk ekspor. Sementara itu ke¬bijaksanaan impor diarahkan untuk menjamin penyediaan barang modal, bahan baku dan barang penolong serta teknologi yang diperlukan untuk pembangunan di berbagai sektor; untuk mendo¬- rong pengembangan industri dalam negeri yang efisien; dan untuk pengendalian impor barang mewah.
Berbagai langkah telah dilaksanakan untuk meningkatkan ekspor, khususnya ekspor komoditi di luar migas. Salah satu langkah terpenting adalah paket-paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang dimulai pada tahun 1985 dengan dikeluarkannya Inpres No. 4 Tahun 1985 yang dimaksudkan untuk meningkatkan kelancaran arus barang dan jasa di pelabuhan. Kebijaksanaan tersebut telah berhasil memperlancar arus doku¬men dan mengurangi biaya pengurusannya. Inpres No. 4 tersebut diikuti oleh paket kebijaksanaan 6 Mei 1986 yang mengatur pembebasan dan pengembalian bea masuk yang diberikan untuk barang dan bahan yang diimpor untuk keperluan produksi yang diekspor. Untuk melanjutkan serta menyempurnakan kedua paket kebijaksanaan tersebut di atas, dikeluarkan kebijaksana¬an-kebijaksanaan deregulasi lanjutan yaitu paket kebijaksana¬an Oktober 1986, paket kebijaksanaan Januari 1987 dan paket kebijaksanaan Desember 1987.

Tiga paket kebijaksanaan tersebut dimaksudkan untuk:
(a) membebaskan sektor ekspor dari dampak negatif ekonomi biaya tinggi di dalam negeri melalui pemberian kemudahan impor bahan baku untuk produksi ekspor, dan
(b) menyempurnakan peraturan-peraturan yang tidak sesuai lagi dengan keadaan melalui pemberian kelonggaran-kelonggaran kepada produsen barang ekspor untuk mengekspor barang yang sama dari produsen lain, kepada perusahaan asing untuk meng-adakan usaha patungan (joint venture) dengan pihak Indonesia dalam usaha ekspor dan kepada pengusaha pemilik izin usaha di luar angka pengenal ekspor (APE) untuk melakukan ekspor.

Langkah kebijaksanaan lainnya dalam rangka mendorong ekspor adalah peningkatan mutu barang ekspor yang meliputi penetapan standar mutu barang ekspor, penyebarluasan standar mutu tersebut di dalam negeri dan di luar negeri, serta penyuluhan dan pengawasan mutu barang ekspor.
Upaya peningkatan ekspor dilaksanakan pula melalui di¬versifikasi ekspor yang meliputi diversifikasi barang maupun pasar. Usaha diversifikasi produk dilaksanakan dengan mendo¬rong ekspor komoditi-komoditi baru yang potensial, termasuk di dalamnya mendorong ekspor dari produk yang telah diproses lebih lanjut yang sebelumnya diekspor dalam bentuk bahan men¬tah maupun barang setengah jadi. Sementara itu diversifikasi pasar diupayakan melalui peningkatan peranan perwakilan R.I. di luar negeri, pengiriman misi dagang dan partisipasi pada pameran dagang di luar negeri serta peningkatan hubungan ker¬ja sama ekonomi inter nasional baik secara bilateral, regio¬nal, maupun internasional.
Untuk meningkatkan kerja sama bilateral selama Repelita IV telah dirintis kerja sama dagang Baru dengan negara¬negara Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur. Indonesia telah menandatangani perjanjian bilateral dengan 46 negara. Selain perjanjian perdagangan telah pula dibentuk berbagai forum kerja sama dalam komisi-komisi bersama, kelom¬pok-kelompok kerja, pertemuan-pertemuan tingkat menteri dan pertemuan-pertemuan yang bersifat konsultatif dengan 17 negara. Berbagai pembicaraan diadakan terutama untuk mengu¬rangi hambatan-hambatan perdagangan ataupun masalah-masalah yang dapat mengarah kehubungan perdagangan antara negara yang kurang harmonis, termasuk pembicaraan tentang adanya rencana perwujudan pasar bersama negara-negara MEE pada tahun 1992, dan rencana dibentuknya wilayah perdagangan bebas antara Amerika Serikat dengan Kanada.
Kerja sama regional dalam rangka ASEAN ditempuh dengan meneruskan komitmen-komitmen yang lalu, terutama melalui Committee on Trade and Tourism (COTT). Sampai saat ini alat yang efektip adalah pendekatan tarif di mana telah dipertu¬- karkan keringanan tarif terhadap hampir 13 ribu jenis komodi¬ti. Persetujuan tersebut dikenal sebagai ASEAN Preferential Trade Arrangements. Forum dialog ASEAN dengan mitra-mitra dagangnya, seperti Australia, Canada, MEE, Jepang, New Zealand, USA, dan lembaga UNDP/ITC/UNCTAD terus dikembang¬kan. Inti dialog adalah penghapusan atau pengurangan hambat¬an perdagangan, baik tarif maupun non tarif, serta peningkat¬an peluang pasar, pemanfaatan GSP dan masalah-masalah lainnya yang dianggap penting.
Kerja sama perdagangan multilateral yang bertujuan meng¬hapuskan atau mengurangi hambatan tarif dan non tarif melalui lembaga-lembaga internasional juga dilakukan melalui perun¬dingan-perundingan dalam forum-forum GATT dan UNCTAD. Mela¬lui wadah ini Indonesia berusaha berpartisipasi aktif guna melindungi dan memperjuangkan kepentingan Indonesia, baik sendiri maupun secara bersama-sama dengan negara berkembang lainnya. Melalui forum UNCTAD, Indonesia bersama negara berkembang lainnya dapat memperoleh fasilitas GSP. Adapun da¬lam rangka menggalang kerja sama antar negara berkembang telah dirintis adanya Global System of Trade Preferences (GSTP) dan State Trading Organization (STO).
Forum lainnya di mana Indonesia aktif memainkan peranan¬nya adalah Organisasi Konperensi Islam (OKI). Kerja sama ini semula lebih berorientasi politik, dalam perkembangannya te¬lah mengarah pula ke dalam masalah-masalah ekonomi dan perdagangan. Sebagai hasilnya Indonesia telah meratifikasi "Sta¬tus Agreement on Promotion, Protection and Guarantee of Investment". Dalam rangka program komoditi terpadu UNCTAD, Indonesia turut dalam perundingan-perundingan untuk terwujud¬nya stabilisasi harga komoditi-komoditi di pasaran internasional seperti kopi, karet, kayu lapis, coklat, jute, dan produknya.
Usaha lainnya yang dilakukan untuk mendorong peningkatan ekspor ialah mengkaitkan pembelian barang kebutuhan Pemerin¬tah dari luar negeri dengan kewajiban membeli barang ekspor dari Indonesia atau disebut kebijaksanaan imbal beli. Kebi¬jaksanaan imbal beli ini merupakan salah satu bagian dari sistem "counter trade". Kebijaksanaan imbal beli mulai di¬berlakukan pertama kali pada tahun 1982. Pada tahun pertama kebijaksanaan tersebut dimulai, hanya terdapat 10 negara yang melakukan kegiatan imbal beli dengan Indonesia, tetapi pada tahun 1986 meningkat menjadi 25 negara. Nilai realisasinya juga meningkat dari US$ 130 juta pada tahun 1982 menjadi US$ 1,4 milyar pada tahun 1987.
Jenis komoditi yang banyak dibe¬li oleh perusahaan asing yang dikenakan kewajiban imbal beli terutama adalah komoditi yang mudah dipasarkan dan permintaannya di pasaran dunia cukup besar, seperti karet, kayu olah¬an, ikan tuna dan udang. Cara yang juga sudah diterapkan dalam perdagangan imbal beli di Indonesia, khususnya dalam peng¬adaan peralatan produksi dengan teknologi tinggi adalah cara "offset" dan "pay back". Cara "offset" menentukan bahwa untuk setiap pengadaan peralatan yang diimpor, pemasok diwajibkan untuk menggunakan komponen produksi dalam negeri. Sedangkan cara "pay back" menentukan bahwa pembayaran kembali terhadap investasi yang telah ditanamkan dilakukan dengan hasil pro¬duksi dari perusahaan yang bersangkutan.
Di samping kebijaksanaan-kebijaksanaan di atas telah di¬tempuh beberapa kebijaksanaan yang menyangkut kelembagaan dan lembaga penunjang. Dalam Repelita IV telah berhasil diben-tuk Bursa Komoditi Indonesia yang berfungsi untuk meningkatkan keteraturan perdagangan melalui sistem pemasaran yang tertib, teratur dan transparan. Dengan sistem tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya kepastian berusaha, perlindungan yang lebih besar untuk kelangsungan usaha produ¬sen, peningkatan pendapatan, khususnya pendapatan petani pro¬dusen. Dengan pelaksanaan sistem tersebut pada gilirannya akan membantu meningkatkan penghasilan devisa.
Bursa Komoditi Indonesia mulai melakukan kegiatannya pa¬da tahun 1985 dengan perdagangan fisik karet. Kemudian, pada tahun 1986, diperluas dengan perdagangan fisik kopi. Dalam rangka deregulasi dan debirokratisasi, Bursa Komoditi Indone¬sia berfungsi pula sebagai sarana pelaksanaan dari kebijaksanaan Pemerintah. Di samping kegiatan tersebut di atas, Bursa Komoditi Indonesia juga melakukan kegiatan promosi baik di dalam maupun di luar negeri, membantu menyelesaikan sengketa dagang melalui arbitrase yang dibentuk oleh Bursa Komoditi Indonesia dan membantu industri barang jadi hasil karet me¬lalui pemberian fasilitas pembayaran di muka (bridging financing).
Fasilitas penunjang lainnya yang telah dibentuk adalah Kawasan Berikat Nusantara (KBN), yang menyediakan tempat beserta segala fasilitas dan kemudahannya guna menunjang eksportir untuk memproduksi dan mengekspor barang agar daya saingnya meningkat.
Berbagai upaya peningkatan ekspor komoditi-komoditi non migas tersebut telah memberikan hasil yang menggembirakan, berupa meningkatnya ekspor komoditi non migas selama Repe¬lita IV. Nilai ekspor di luar migas telah meningkat dari US$ 5.367 juta pada tahun terakhir Repelita III menjadi US$ 11.225 juta pada tahun terakhir Repelita IV. Dengan demikian selama kurun waktu Repelita IV, laju pertumbuhan nilai ekspor di luar migas mencapai 15,9% per tahun, yang terdiri atas nilai ekspor komoditi pertanian dengan laju pertumbuhan sebesar 6,7% per tahun, nilai ekspor komoditi pertambangan dengan la¬ju pertumbuhan sebesar 7,9% per tahun dan nilai ekspor komoditi industri dengan laju pertumbuhan sebesar 28,2% per tahun.
Seperti telah disebutkan di muka kebijaksanaan impor di¬tujukan untuk menjamin impor barang dan jasa yang sangat di¬perlukan di berbagai sektor; untuk mendorong pertumbuhan pro¬duktivitas industri dalam negeri, baik industri yang berorientasi ekspor maupun industri substitusi impor dan untuk mengendalikan penggunaan devisa. Sasaran tersebut dicapai melalui kebijaksanaan pelaksanaan yang bersifat tidak lang¬sung yaitu dengan mengurangi peraturan-peraturan tata niaga dan menggantikannya dengan kebijaksanaan tarif. Dalam tahun 1985 tingkat tarif maksimum telah diturunkan dari 225% menjadi 60%, sedang jumlah golongan tarif diturunkan dari 26 menjadi 16. Struktur tarif tersebut telah mengalami banyak perubahan-perubahan melalui berbagai paket kebijaksanaan de¬regulasi yang dikeluarkan sejak tahun 1986 sampai dengan ta¬hun 1988. Beberapa jenis barang dikenakan pembebasan, keringanan atau kenaikan bea masuk dan beberapa jenis barang lainnya dikenakan bea masuk tambahan. Pembebasan dan ke¬ringanan bea masuk dimaksudkan untuk melancarkan impor barang-barang penting yang diperlukan oleh berbagai sektor ter¬masuk untuk peningkatan ekspor; sedangkan kenaikan bea masuk, pengenaan bea masuk tambahan dimaksudkan sebagai pengganti penghapusan hambatan non tarif untuk barang-barang yang masih memerlukan perlindungan.
Sebagai hasil dari kebijaksanaan tersebut maka berbagai sektor telah mengalami kemajuan yang menggembirakan seperti yang antara lain tercermin dari peningkatan ekspor hasil-ha¬sil industri. Keberhasilan tersebut tercermin pula dari perubahan struktur impor, yakni penurunan pangsa impor barang¬- barang konsumsi dari seluruh nilai impor dan kenaikan pangsa impor bahan baku dan penolong serta kenaikan pangsa impor barang modal.


Hambatan Perdagangan antar Negara

Hambatan perdagangan adalah regulasi atau peraturan pemerintah yang membatasi perdagangan bebas.
Bentuk-bentuk hambatan perdangangan antara lain:
• Tarif atau bea cukai. Tarif adalah pajak produk impor.
• Kuota. Kuota membatasi banyak unit yang dapat diimpor untuk membatasi jumlah barang tersebut di pasar dan menaikkan harga.
• Subsidi. Subsidi adalah bantuan pemerintah untuk produsen lokal. Subsidi dihasilkan dari pajak. Bentuk-bentuk subsidi antara lain bantuan keuangan, pinjaman dengan bunga rendah dan lain-lain.
• Muatan lokal.
• Peraturan administrasi.
• Peraturan antidumping.
Hambatan perdangan mengurangi efisiensi ekonomi, karena masyarakat tidak dapat mengambil keuntungan dari produktivitas negara lain. Pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdangan adalah produsen dan pemerintah. Produsen mendapatkan proteksi dari hambatan perdagangan, sementara pemerintah mendapatkan penghasilan dari bea-bea.
Argumen untuk hambatan perdangan antara lain perlindungan terhadap industri dan tenaga kerja lokal. Dengan tiadanya hambatan perdangan, harga produk dan jasa dari luar negeri akan menurun dan permintaan untuk produk dan jasa lokal akan berkurang. Hal ini akan menyebabkan matinya industri lokal perlahan-lahan. Alasan lain yaitu untuk melindungi konsumen dari produk-produk yang dirasa tidak patut dikonsumsi, contoh: produk-produk yang telah diubah secara genetika.
Di Indonesia, hambatan perdagangan banyak digunakan untuk membatasi impor pertanian dari luar negeri untuk melindungi petani dari anjloknya harga lokal.


Perkembangan Neraca Pembayaran

Kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri selama empat tahun Repelita V sangat dipengaruhi oleh tantangan yang timbul dari perkembangan situasi politik, ekonomi dan moneter dunia.
Selama dasawarsa 1980-an, perekonomian dunia mencapai rekor pertumbuhan tertinggi pada tahun 1988, yaitu sebesar 4,6%. Setelah itu, perekonomian dunia mengalami kemerosotan hingga mencapai 0,6% pada tahun 1991. Namun dalam tahun 1992 perekonomian dunia mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan pertumbuhan sebesar 1,8 % . Dalam tahun 1992, negara-negara industri dan negara-negara berkembang masing-masing tumbuh sebesar 1,5 % dan 6, 1 %. Ini merupakan suatu perbaikan dari tahun 1991 sewaktu kelompok-kelompok negara ini, mencapai pertumbuhan masing-masing sebesar 0,6% dan 4,2%. Di antara negara-negara berkembang tersebut, kelompok negara di Asia dapat mempertahankan laju pertumbuhan ekonominya yang cukup tinggi, bahkan mengalami peningkatan pertumbuhan dari 5,8% menjadi 7,9 % . Peningkatan cukup besar ini juga diikuti oleh negara-negara berkembang di Timur Tengah yang pertumbuhannya meningkat dari 2,1 % pada tahun 1991 menjadi 9,9% pada tahun 1992. Sementara itu, negara-negara di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet terus mengalami kemerosotan yang makin parah dalam produksi nasionalnya. Pada tahun 19.91 kelompok negara-negara ini ekonominya mengalami penurunan sebesar 10,1 % dan pada tahun 1992 mengalami penurunan yang lebih besar lagi, yaitu 15,5% . Perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang Eropa Timur dan negara-negara bekas Uni Soviet perlu terus diamati mengingat di masa depan kelompok negara ini akan menjadi saingan yang cukup berat bagi negara-negara berkembang, apabila mereka telah selesai dengan tahap konsolidasinya dan ekonominya tumbuh kembali.
Seiring dengan peningkatan produksi dunia, laju pertumbuhan perdagangan internasional juga mengalami peningkatan dari 2,3% dalam tahun 1991 menjadi 4,2% dalam tahun 1992. Volume ekspor dan impor negara-negara industri dalam tahun 1992 meningkat masing-masing sebesar 3,2% dan 4,0%, begitu pula volume ekspor dan impor negara-negara berkembang yang meningkat menjadi 8,4% dan 10,2% dalam tahun 1992.
Sementara itu harga minyak bumi di pasaran internasional mengalami penurunan sebesar 0,5 % selama tahun 1992. Namun demikian, penurunan ini tidak sebesar penurunan yang terjadi pada tahun 1991 yaitu sebesar 17,0%. Begitu pula harga komoditi primer lainnya seperti kopi, karet, dan hasil-hasil tambang merosot dengan 0,1% pada tahun 1992. Perkembangan ini menyebabkan turunnya nilai tukar perdagangan untuk negara-negara berkembang. Dalam tahun tersebut nilai tukar perdagangan menurun sebesar 1,4% untuk negara-negara berkembang, sedangkan untuk negara-negara industri justru meningkat sebesar 1,8%.
Secara keseluruhan dalam tahun 1992 negara-negara industri mengalami kenaikan dalam defisit transaksi berjalan menjadi US$ 38,5 miliar. Untuk negara-negara berkembang defisit transaksi berjalan sedikit menurun dari US$ 81,9 miliar pada tahun 1991 menjadi US$ 78,4 miliar pada tahun 1992.
Berakhirnya perang dingin, restrukturisasi sistem ekonomi dan politik nasional di berbagai negara serta proses regionalisasi merupakan peristiwa-peristiwa penting yang dampaknya pada tatanan ekonomi dunia baru masih belum jelas dan perlu terus diamati. Perkembangan yang cukup penting adalah penyatuan Masyarakat Ekonomi Eropa yang dicanangkan pada pertemuan puncak Maastricht di bulan Desember 1991. Pertemuan puncak ter-sebut diadakan dalam rangka melicinkan jalan pembentukan Masya¬rakat Eropa ke dalam satu unit politik, ekonomi dan moneter (EMU) yang direncanakan terbentuk pada tahun 1999. Tujuan utama pem¬bentukan Masyarakat Eropa adalah untuk meningkatkan kesejahtera¬an sosial dan ekonomi yang harmonis dan berkelanjutan dengan men¬ciptakan suatu kawasan tanpa batas internal serta terciptanya suatu unit ekonomi dan moneter dengan menggunakan satu mata uang.
Seiring dengan itu, dalam bulan Agustus 1992 ditandatangani Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) oleh negara-negara Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, yang akan menjadi efektif pada Januari 1994. Tujuan pembentukan NAFTA tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja melalui usaha menghilangkan berbagai hambatan perdagangan, menciptakan iklim untuk mendorong persaingan yang adil, meningkatkan peluang investasi, memberikan perlindungan terhadap hak milik intelektual, dan menciptakan prosedur yang efektif dalam penyelesaian perselisihan perdagangan antara ketiga negara anggotanya.
Dalam pada itu, perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka Putaran Uruguay pada tahun 1992 masih tetap mengalami hambatan. Belum terdapatnya kesepakatan mengenai perdagangan hasil-hasil pertanian antara Amerika Serikat, Masyarakat Ekonomi Eropa dan Jepang merupakan penyebab utama kemacetan perundingan tersebut. Terhambatnya kesepakatan GATT ini mempengaruhi prospek terciptanya perdagangan dunia yang terbuka, transparan dan mempunyai aturan disiplin yang efektif.
Sejalan dengan itu, berbagai upaya terus dilakukan dalam rangka penyesuaian tujuan dan organisasi berbagai forum kerja sama internasional, termasuk UNCTAD dan Gerakan Non Blok. Pada bulan September 1992, di Jakarta diadakan Konperensi Tingkat Tinggi Ke-10 Gerakan Non Blok. Melalui Pesan Jakarta, gerakan tersebut menyerukan agar dilakukan demokratisasi dalam hubungan antar negara dan dihidupkan kembali dialog Utara-Selatan secara konstruktif.
Sementara itu, kerja sama antara negara-negara anggota ASEAN terus dikembangkan. Terdorong oleh berbagai perubahan struktural dalam perekonomian dunia dan untuk menghadapi kejadian semakin meluasnya blok-blok perdagangan dengan kecenderungan ke arah proteksionisme, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN pada tahun 1991 sepakat untuk mempercepat langkah-langkah kerja sama ke arah integrasi ekonomi. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1992 disetujui Perjanjian mengenai Tarif Preferensial Efektif Seragam (CEPT) menuju Wilayah Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), yang efektif mulai berlaku tanggal 1 Januari 1993.


PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri

Selama empat tahun pelaksanaan Repelita V, berbagai kebijaksanaan di bidang perdagangan dan keuangan luar negeri telah diambil dengan tujuan untuk mempertahankan momentum pembangunan nasional, antara lain kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi.
Dalam tahun 1992/93, langkah-langkah deregulasi yang ditempuh antara lain berupa penyederhanaan tata niaga ekspor dan impor melalui pengenaan pajak ekspor dan pajak ekspor tambahan, penurunan dan penghapusan bea masuk dan bea masuk tambahan komoditi tertentu, peninjauan kembali Daftar Negatif Investasi (DNI), dan penyederhanaan tata cara penanaman modal. Di bidang ekspor, melalui Paket 27 Mei 1992, larangan ekspor beberapa komoditi seperti kayu bulat/log dalam bentuk ter¬tentu, kayu ramin, serta meranti putih dan agathis bentuk tertentu, telah diganti dengan pengenaan Pajak Ekspor (PE) dan atau Pajak Ekspor Tambahan (PET). Sedangkan kulit mentah jenis tertentu yang sebelumnya dikenakan pajak ekspor secara persentase diganti dengan pajak ekspor yang dihitung secara spesifik. Selain itu, ketentuan larangan ekspor rotan juga mengalami penyederhanaan. Mulai Juni 1992, larangan ekspor rotan dalam bentuk bahan mentah dan barang setengah jadi diganti dengan pengenaan pajak ekspor dan atau pajak ekspor tambahan.
Untuk memperlancar arus barang dalam rangka menunjang kegiatan ekonomi, mulai bulan Juli 1992 PT Sucofindo ditunjuk sebagai pemeriksa barang eskpor dan barang yang dimasukkan/dikeluarkan ke dan dari kawasan berikat di seluruh Indonesia. Di samping itu, dilakukan pula penyempurnaan tata cara penyampaian laporan realisasi ekspor dan tata cara pemberian fasilitas ekspor oleh Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor dan Pengolahan Data Keuangan (Bapeksta Keuangan). Dalam pada itu, terhitung mulai bulan Oktober 1992 produsen pengekspor barang tidak perlu membuat Laporan Keterkaitan (LK), yang merupakan laporan pemakaian barang dan bahan impor untuk memproduksi komoditi ekspor, guna memperoleh pembebasan dan pengembalian bea masuk ataupun pungutan lainnya. Sejak waktu itu, Laporan Keterkaitan (LK) diganti menjadi Laporan Pemakaian Bahan (LPB) yang diterbitkan oleh surveyor yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Tata niaga ekspor kayu (maniok) ke negara-negara Masyarakat Eropa (ME) juga diatur kembali. Mulai bulan Oktober 1992 kuota ekspor maniok untuk tahun 1993 ke negara-negara ME dibagikan secara proporsional ke masing-masing eksportir berdasarkan kinerja sebelumnya dan atau kemampuan eksportir untuk mengekspor maniok ke negara-negara di luar ME yang dibuktikan dengan "Landing Certificate" yang dikeluarkan oleh instansi Bea dan Cukai di pelabuhan negara tujuan dan "Loading Certificate" yang dikeluarkan oleh PT Sucofindo. Pengaturan kembali tata niaga ini dilakukan untuk lebih meringankan persyaratan bagi eksportir dalam mengekspor maniok ke nagara-negara ME.
Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan ekspor non migas, perluasan pasaran ekspor terus digalakkan. Dalam tahun 1992/93 dilaksanakan pengiriman berbagai misi dagang ke luar negeri, pameran-pameran dagang di luar negeri serta kegiatan promosi untuk menarik importir luar negeri berkunjung ke Indonesia. Khusus dalam usaha pemasaran barang kerajinan, pada bulan Juli 1992 Indonesia mengikuti pameran California Gift Show di Amerika Serikat.
Selain itu, untuk menjaga kesinambungan dan memperluas akses produk ekspor, peran aktif Indonesia di berbagai forum interna-sional, baik hubungan bilateral, regional dan multilateral terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini, Indonesia berpartisipasi aktif dalam negosiasi Putaran Uruguay (GATT), Konperensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), kerja sama ekonomi ASEAN dan berbagai forum kerja sama internasional seperti Organisasi Kopi Internasional (ICO), Asosiasi Negara-negara Penghasil Karet Alam (ANRPC), Asosiasi Negara Produsen Timah (ATPC), dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Khusus mengenai timah, untuk menjaga kestabilan harga timah di pasaran dunia, negara-negara anggota ATPC dalam sidangnya di Jakarta pada bulan September 1992 telah sepakat membatasi ekspor timah selama tahun 1993 menjadi 2,7% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu menjadi 89.400 ton. Dalam kaitan itu, Indonesia memperoleh jatah kuota ekspor timah sebesar 30.500 ton selama tahun 1993, atau naik 9,0% dibanding kuota tahun 1992.
Dalam pertemuan puncak di Singapura pada bulan Januari 1992, negara-negara ASEAN sepakat untuk lebih mengintegrasikan ekonomi ASEAN yang dijabarkan dalam bentuk Kerangka Perjanjian untuk Meningkatkan Kerja Sama Ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation). Program ini ditujukan untuk mewujudkan integrasi yang diawali dengan kese-pakatan untuk secara bertahap, yaitu mulai 1 Januari 1993 menerap-kan Tarif Preferensial Efektif •Seragam (CEPT) yang diarahkan pada pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA). Untuk itu, dalam tahun 1992 telah ditetapkan dua program penurunan tarif, yaitu program penurunan tarif yang dipercepat (Fast Track) dan program penurunan tarif normal (Normal Track). Program penurun-an tarif yang dipercepat meliputi 15 kelompok produk yang telah disepakati. Berdasarkan program tersebut, produk-produk tertentu yang tarifnya di atas 20% akan diturunkan menjadi 0-5% dalam waktu 10 tahun. Kemudian untuk komoditi yang mempunyai tarif lebih kecil atau sama dengan 20% akan dikurangi menjadi 0-5% dalam waktu 7 tahun. Sementara itu melalui program penurunan tarif normal, komoditi yang mempunyai tarif di bawah 20 % akan dikurangi hingga menjadi 0-5% dalam waktu 10 tahun. Komoditi yang bertarif di atas 20% akan dikurangi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama menjadi 20% dalam waktu 5-8 tahun dan tahap kedua dikurangi lagi menjadi 0-5 % dalam waktu 7 tahun berikutnya.
Sebagai kelanjutan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan deregu-lasi sebelumnya, Pemerintah mengeluarkan Paket 6 Juli 1992 guna membebaskan dan melonggarkan tata niaga. beberapa komoditi impor, menyempurnakan mekanisme bea masuk dan bea masuk tambahan terhadap komoditi tertentu, serta menyederhanakan tata niaga impor mesin, peralatan dan barang modal bekas pakai.
Untuk lebih memperlancar arus barang dan pengadaan bahan baku, bahan penolong dan sarana usaha, sebanyak 241 pos tarif yang terdiri dari 12 pos tarif produk pertanian, 226 pos tarif produk batik dan 3 pos tarif produk industri dibebaskan dari tata niaga impor. Sementara itu dari 464 pos tarif yang masih diatur tata niaganya, sebanyak 36 pos tarif untuk produk besi dan baja dilonggarkan.
Di samping itu, tingkat bea masuk dan bea masuk tambahan barang-barang impor disesuaikan. Untuk tingkat bea masuk, sebanyak 35 pos tarif dinaikkan, 44 pos tarif diturunkan dan 2 pos tarif diubah klasifikasinya. Sedangkan tingkat bea masuk tambahan sebanyak 80 pos tarif dinaikkan, 81 pos tarif diturunkan, dan sebanyak 184 pos tarif dihapuskan. Selanjutnya tata niaga, klasifikasi tarif, tingkat bea masuk dan tingkat bea masuk tambahan barang-barang impor seperti karpet dan permadani, produk kimia dan tekstil tertentu, serta komponen/suku cadang untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat terbang disempurnakan kembali.
Untuk menumbuhkan usaha jasa industri baru dalam kemam-puan rekondisi mesin sekaligus mengurangi biaya investasi, impor mesin, peralatan dan barang modal bekas pakai dibebaskan. Dengan demikian mulai bulan Juli 1992 barang-barang tersebut, selama tidak tercantum dalam daftar negatif yang disusun oleh Departemen Per-industrian, dapat diimpor langsung oleh perusahaan pemakai ataupun oleh perusahaan rekondisi. Sedangkan pemeriksaan atas barang-barang impor tersebut dilakukan oleh PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia.
Selanjutnya untuk meningkatkan tertib administrasi, peng-awasan dan pengamanan dokumen impor, pada bulan Pebruari 1993 bentuk dan isi dokumen Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD) disempurnakan. Terhitung 60 hari sejak dikeluarkannya kebijaksanaan tersebut, dokumen PIUD dapat dibedakan menjadi 8 jenis sesuai dengan jenis fasilitas impor yang diperoleh.
Di samping itu untuk menunjang penanaman modal, mening-katkan perdagangan dalam negeri dan luar negeri, serta untuk me-ningkatkan kegiatan ekonomi, pada bulan Pebruari 1993 diberla-kukan ketentuan khusus mengenai Entreport Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), suatu tempat atau ruang di wilayah pabean Indone-sia untuk penyimpanan barang (warehousing) dan pengolahan barang. Mulai bulan tersebut, diberlakukan ketentuan-ketentuan khusus yaitu: (1) Bea Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT), Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) terhadap barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean ditangguhkan; (2) Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) tidak dipungut; sedangkan (3) untuk penyerahan dalam negeri penye¬lesaian pungutan-pungutan yang terhutang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Perusahaan atau industri yang dapat ditetapkan sebagai EPTE adalah perusahaan yang berdomisili di luar ataupun di dalam Kawasan Industri di wilayah pabean Indonesia.
Khusus mengenai pinjaman luar negeri, pada bulan Maret 1992 Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk mem-bubarkan Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang dike-tuai oleh pemerintah Belanda. Sikap tegas tersebut menunjukkan bahwa Indonesia selalu berpegang teguh kepada pedoman bahwa pinjaman luar negeri tidak boleh disertai dengan ikatan politik, seba-gaimana ditetapkan dalam GBHN. Sebagai gantinya dibentuk Con-sultative Group for Indonesia (CGI) yang diketuai oleh Bank Dunia.
Di bidang jasa jasa, usaha untuk meningkatkan penerimaan devisa dan sekaligus menghemat penggunaannya terus dilanjutkan. Di antara jasa jasa, pariwisata merupakan sumber penerimaan devisa yang makin penting. Untuk itu Indonesia aktif berpartisipasi dalam forum kepariwisataan internasional seperti Tournament of Roses di Amerika Serikat, PATA 1992 di Taiwan, dan World Expo 1992 di Spanyol. Di tingkat nasional tahun 1991 telah ditetapkan sebagai Tahun Kunjungan Wisata Indonesia yang dilanjutkan dengan Tahun Kunjungan ASEAN 1992. Selanjutnya telah ditetapkan pula Dekade Kunjungan Indonesia tahun 1993 sampai tahun 2000. Di samping sektor pariwisata, terus diusahakan peningkatan penerimaan devisa di bidang jasa jasa baru seperti transfer penghasilan dari tenaga kerja Indonesia di luar negeri serta jasa perawatan dan bengkel pesawat terbang milik Garuda Indonesia.
Untuk mendorong penanaman modal swasta, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA), ketentuan-ketentuan mengenai penanaman modal disempurnakan lagi. Paket kebijaksanaan bulan Juli 1992 meliputi antara lain penyederhanaan Daftar Negatif Investasi (DNI), pengaturan kembali tata cara penanaman modal, dan.penyempurnaan tentang pemanfaatan tanah hak guna usaha dan hak guna bangunan untuk usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing. SeLanjutnya paket kebijaksanaan ini juga mengatur proses penyelesaian izin kerja bagi tenaga kerja, asing yang keahliannya belum sepenuhnya dapat diisi oleh tenaga Indonesia.


2. Perkembangan Neraca Pembayaran

Situasi neraca pembayaran selama empat tahun pelaksanaan Repelita V secara umum tetap terkendali dalam batas-batas yang wajar. Perkembangan neraca pembayaran tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekspor, impor dan arus modal luar negeri.
Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V nilai ekspor secara keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 15,5% per tahun, dari US$ 19,8 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 35,3 miliar pada tahun 1992/93 (lihat Tabel V-1). Peningkatan pertumbuhan ini terutama berasal dari laju pertumbuhan ekspor non migas yang meningkat rata-rata 19,5% per tahun sehingga mencapai US$ 24,8 miliar pada tahun 1992/93. Namun peningkatan laju pertumbuhan ekspor non migas yang pesat ini tidak dibarengi dengan laju pertumbuhan ekspor minyak bumi dan gas alam cair. Selama kurun waktu tersebut, ekspor minyak bumi dan gas alam cair masing-masing hanya meningkat rata-rata sebesar 6,2% dan 11,8% per tahun, atau masing-masing menjadi sebesar US$ 6,4 miliar dan US$ 4,1 miliar pada tahun 1992/93.
Sementara itu, peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor keseluruhan semakin mantap sehingga semakin mampu berperan sebagai sumber penerimaan devisa utama. Dalam tiga tahun terakhir ini, peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor keseluruhan terus meningkat dari 54,6% pada tahun 1990/91 menjadi 64,0% pada tahun 1991/92 dan menjadi 70,3 % pada tahun 1992/93.
Dalam pada itu, nilai impor keseluruhaq (f.o.b.) selama empat tahun pelaksanaan Repelita V bervariasi -sejalan dengan kegiatan industri dan investasi di dalam negeri. Pada tahun 1992/93 nilai impor keseluruhan mencapai sebesar US$ 27,3 miliar, atau meningkat rata-rata sebesar 17,5% per tahun sejak tahun 1988/89. Dalam dua tahun pertama pelaksanaan Repelita V, suhu perekonomian Indonesia meningkat dan hal ini antara lain tercermin dalam peningkatan impor barang, terutama impor bahan baku/ penolong dan barang modal, yang cukup besar. Nilai impor non migas dalam tahun 1989/90 naik dengan 21,3% dan naik lagi dengan 31,0% dalam tahun 1990/91. Dengan langkah-langkah penyejukan mesin perekonomian yang ditempuh waktu itu, laju pertumbuhan nilai impor non migas dalam dua tahun terakhir dapat diturunkan menjadi 11,4% pada tahun 1991/92 dan 9,7% pada tahun 1992/93.
Pengeluaran devisa neto untuk jasa jasa naik rata-rata sebesar 9,4% per tahun dari sebesar US$ 7,4 miliar pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 10,5 miliar pada tahun 1992/93. Kenaikan ini terutama berasal dari jasa jasa sektor non migas dan sektor gas alam cair yang masing-masing meningkat rata-rata sebesar 10,1 % dan 15,3 % per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, penerimaan jasa jasa dari sektor pariwisata meningkat cukup pesat yaitu dari sebesar US$ 1,4 miliar pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 3,3 miliar pada tahun 1992/93.
Perkembangan ekspor dan impor barang dan jasa tersebut di atas mengakibatkan besarnya defisit transaksi berjalan Indonesia dari tahun ke tahun bervariasi. Pada tahun 1988/89 defisit transaksi ber-jalan adalah sebesar US$ 1,9 miliar, dan karena peningkatan suhu perekonomian jumlah ini meningkat menjadi US$ 3,7 miliar pada tahun 1990/91 dan US$ 4,4 miliar pada tahun 1991/92. Selanjutnya defisit transaksi berjalan turun menjadi US$ 2,6 miliar pada tahun 1992/93.
Dalam 5 tahun terakhir, pinjaman di sektor Pemerintah turun dari US$ 6.588 juta pada tahun 1988/89 menjadi US$ 5.755 juta pada tahun 1992/93. Hal ini dimungkinkan oleh keberhasilan peningkatan ekspor non migas dan mobilisasi sumber-sumber dana dari dalam negeri. Pinjaman terbesar diperoleh dalam bentuk bantu-an proyek bersyarat lunak, di samping bentuk-bentuk pinjaman lain-nya dan bantuan program. Sementara itu, karena banyak pinjaman yang sudah jatuh waktu, pelunasan pfnjaman Pemerintah naik dari US$ 3,8 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 4,8 miliar pada tahun 1992/93.
Di sektor swasta, pemasukan modal (neto) sejak tahun 1988/89 menunjukkan peningkatan cukup cepat sampai dengan tahun 1990/91, kemudian melambat berkat adanya kebijaksanaan pengen-dalian moneter untuk mendinginkan suhu perekonomian. Di antara transaksi modal tersebut penanaman modal asing meningkat pesat dari US$ 878 juta dalam tahun 1988/89 menjadi hampir US$ 2,5 miliar dalam tahun 1992/93. Dalam tiga tahun terakhir modal lain-nya (neto) mengalami penurunan cukup besar yaitu dari US$ 3,6 miliar pada tahun 1990/91 menjadi sebesar US$ 1,3 miliar pada tahun 1992/93.
Semua perkembangan tersebut di atas telah menyebabkan cadangan devisa meningkat dari US$ 6.011 juta pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 11.981 juta pada akhir tahun 1992/93. Jumlah cadangan devisa ini cukup untuk membiayai impor (c & f) non migas selama 5,5 bulan.

4. Peran kurs Valuta Asing

Bursa valuta asing (Inggris: foreign exchange market, forex) atau disingkat bursa valas merupakan suatu jenis perdagangan atau transaksi yang memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya (pasangan mata uang/pair) yang melibatkan pasar-pasar uang utama di dunia selama 24 jam secara berkesinambungan.
Pergerakan pasar valuta asing berputar mulai dari pasar Selandia Baru dan Australia yang berlangsung pukul 05.00–14.00 WIB, terus ke pasar Asia yaitu Jepang, Singapura, dan Hongkong yang berlangsung pukul 07.00–16.00 WIB, ke pasar Eropa yaitu Jerman dan Inggris yang berlangsung pukul 13.00–22.00 WIB, sampai ke pasar Amerika Serikat yang berlangsung pukul 20.30–10.30 WIB. Dalam perkembangan sejarahnya, bank sentral milik negara-negara dengan cadangan mata uang asing yang terbesar sekalipun dapat dikalahkan oleh kekuatan pasar valuta asing yang bebas.
Menurut survei BIS (Bank International for Settlement, bank sentral dunia), yang dilakukan pada akhir tahun 2004, nilai transaksi pasar valuta asing mencapai lebih dari USD$1,4 triliun per harinya. Mengingat tingkat likuiditas dan percepatan pergerakan harga yang tinggi tersebut, valuta asing juga telah menjadi alternatif yang paling populer karena ROI (return on investment atau tingkat pengembalian investasi) serta laba yang akan didapat bisa melebihi rata-rata perdagangan pada umumnya. Akibat pergerakan yang cepat tersebut, maka pasar valuta asing juga memiliki risiko yang tinggi.
Sumber :
http://kemotzlee.blogspot.com/2010/11/perdagangan-antar-negara.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar