Efek Perdagangan Internasional terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang menonjol adalah
mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada juga wacana lain mengenai
pengangguran, inflasi atau kenaikan harga barang-barang secara bersamaan,
kemiskinan, pemerataan pendapatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi
menjadi penting dalam konteks perekonomian suatu negara karena dapat menjadi
salah satu ukuran dari pertumbuhan atau pencapaian perekonomian bangsa
tersebut, meskipun tidak bisa dinafikan ukuran-ukuran yang lain. Wijono (2005)
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan
pembangunan.
Salah satu hal yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan adalah
perdagangan internasional. Salvatore menyatakan bahwa perdagangan dapat menjadi
mesin bagi pertumbuhan ( trade as engine of growth, Salvatore, 2004). Jika
aktifitas perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu
dari komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi
pertumbuhan. Tambunan (2005) menyatakan pada awal tahun 1980-an Indonesia
menetapkan kebijakan yang berupa export promotion. Dengan demikian, kebijakan
tersebut menjadikan ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan.
Ketika perdagangan internasional menjadi pokok bahasan, tentunya perpindahan
modal antar negara menjadi bagian yang penting juga untuk dipelajari. Sejalan
dengan teori yang dikemukakan oleh Vernon,
perpindahan modal khususnya untuk investasi langsung, diawali dengan adanya
perdagangan internasional (Appleyard, 2004). Ketika terjadi perdagangan
internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan kemungkinan untuk
memindahkan tempat produksi. Peningkatan ukuran pasar yang semakin besar yang
ditandai dengan peningkatan impor suatu jenis barang pada suatu negara, akan
memunculkan kemungkinan untuk memproduksi barang tersebut di negara importir.
Kemungkinan itu didasarkan dengan melihat perbandingan antara biaya produksi di
negara eksportir ditambah dengan biaya transportasi dengan biaya yang muncul
jika barang tersebut diproduksi di negara importir. Jika biaya produksi di
negara eksportir ditambah -biaya transportasi lebih besar dari biaya produksi
di negara importir, maka investor akan memindahkan lokasi produksinya di negara
importir (Appleyard, 2004).
-Kebijaksanaan Perdagangan Luar Negeri dari Pelita ke Pelita
Kebijaksanaan pengembangan perdagangan luar negeri meli- puti kebijaksanaan
ekspor dan kebijaksanaan impor. Dalam Re¬-pelita IV kebijaksanaan ekspor
diarahkan untuk meningkatkan penerimaan devisa dan perluasan kesempatan kerja
melalui pe¬ningkatan ekspor dan produksi untuk ekspor. Sementara itu
ke¬bijaksanaan impor diarahkan untuk menjamin penyediaan barang modal, bahan
baku dan barang penolong serta teknologi yang diperlukan untuk pembangunan di
berbagai sektor; untuk mendo¬- rong pengembangan industri dalam negeri yang
efisien; dan untuk pengendalian impor barang mewah.
Berbagai langkah telah dilaksanakan untuk meningkatkan ekspor, khususnya ekspor
komoditi di luar migas. Salah satu langkah terpenting adalah paket-paket kebijaksanaan
deregulasi dan debirokratisasi yang dimulai pada tahun 1985 dengan
dikeluarkannya Inpres No. 4 Tahun 1985 yang dimaksudkan untuk meningkatkan
kelancaran arus barang dan jasa di pelabuhan. Kebijaksanaan tersebut telah
berhasil memperlancar arus doku¬men dan mengurangi biaya pengurusannya. Inpres
No. 4 tersebut diikuti oleh paket kebijaksanaan 6 Mei 1986 yang mengatur
pembebasan dan pengembalian bea masuk yang diberikan untuk barang dan bahan
yang diimpor untuk keperluan produksi yang diekspor. Untuk melanjutkan serta
menyempurnakan kedua paket kebijaksanaan tersebut di atas, dikeluarkan
kebijaksana¬an-kebijaksanaan deregulasi lanjutan yaitu paket kebijaksana¬an
Oktober 1986, paket kebijaksanaan Januari 1987 dan paket kebijaksanaan Desember
1987.
Tiga paket kebijaksanaan tersebut dimaksudkan untuk:
(a) membebaskan sektor ekspor dari dampak negatif ekonomi biaya tinggi di dalam
negeri melalui pemberian kemudahan impor bahan baku untuk produksi ekspor, dan
(b) menyempurnakan peraturan-peraturan yang tidak sesuai lagi dengan keadaan
melalui pemberian kelonggaran-kelonggaran kepada produsen barang ekspor untuk
mengekspor barang yang sama dari produsen lain, kepada perusahaan asing untuk
meng-adakan usaha patungan (joint venture) dengan pihak Indonesia dalam usaha
ekspor dan kepada pengusaha pemilik izin usaha di luar angka pengenal ekspor
(APE) untuk melakukan ekspor.
Langkah kebijaksanaan lainnya dalam rangka mendorong ekspor adalah peningkatan
mutu barang ekspor yang meliputi penetapan standar mutu barang ekspor,
penyebarluasan standar mutu tersebut di dalam negeri dan di luar negeri, serta
penyuluhan dan pengawasan mutu barang ekspor.
Upaya peningkatan ekspor dilaksanakan pula melalui di¬versifikasi ekspor yang
meliputi diversifikasi barang maupun pasar. Usaha diversifikasi produk
dilaksanakan dengan mendo¬rong ekspor komoditi-komoditi baru yang potensial,
termasuk di dalamnya mendorong ekspor dari produk yang telah diproses lebih
lanjut yang sebelumnya diekspor dalam bentuk bahan men¬tah maupun barang setengah
jadi. Sementara itu diversifikasi pasar diupayakan melalui peningkatan peranan
perwakilan R.I. di luar negeri, pengiriman misi dagang dan partisipasi pada
pameran dagang di luar negeri serta peningkatan hubungan ker¬ja sama ekonomi
inter nasional baik secara bilateral, regio¬nal, maupun internasional.
Untuk meningkatkan kerja sama bilateral selama Repelita IV telah dirintis kerja
sama dagang Baru dengan negara¬negara Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin dan
Eropa Timur. Indonesia
telah menandatangani perjanjian bilateral dengan 46 negara. Selain perjanjian
perdagangan telah pula dibentuk berbagai forum kerja sama dalam komisi-komisi
bersama, kelom¬pok-kelompok kerja, pertemuan-pertemuan tingkat menteri dan
pertemuan-pertemuan yang bersifat konsultatif dengan 17 negara. Berbagai
pembicaraan diadakan terutama untuk mengu¬rangi hambatan-hambatan perdagangan
ataupun masalah-masalah yang dapat mengarah kehubungan perdagangan antara
negara yang kurang harmonis, termasuk pembicaraan tentang adanya rencana perwujudan
pasar bersama negara-negara MEE pada tahun 1992, dan rencana dibentuknya
wilayah perdagangan bebas antara Amerika Serikat dengan Kanada.
Kerja sama regional dalam rangka ASEAN ditempuh dengan meneruskan
komitmen-komitmen yang lalu, terutama melalui Committee on Trade and Tourism
(COTT). Sampai saat ini alat yang efektip adalah pendekatan tarif di mana telah
dipertu¬- karkan keringanan tarif terhadap hampir 13 ribu jenis komodi¬ti.
Persetujuan tersebut dikenal sebagai ASEAN Preferential Trade Arrangements.
Forum dialog ASEAN dengan mitra-mitra dagangnya, seperti Australia, Canada,
MEE, Jepang, New
Zealand, USA,
dan lembaga UNDP/ITC/UNCTAD terus dikembang¬kan. Inti dialog adalah penghapusan
atau pengurangan hambat¬an perdagangan, baik tarif maupun non tarif, serta
peningkat¬an peluang pasar, pemanfaatan GSP dan masalah-masalah lainnya yang
dianggap penting.
Kerja sama perdagangan multilateral yang bertujuan meng¬hapuskan atau
mengurangi hambatan tarif dan non tarif melalui lembaga-lembaga internasional juga
dilakukan melalui perun¬dingan-perundingan dalam forum-forum GATT dan UNCTAD.
Mela¬lui wadah ini Indonesia
berusaha berpartisipasi aktif guna melindungi dan memperjuangkan kepentingan Indonesia,
baik sendiri maupun secara bersama-sama dengan negara berkembang lainnya.
Melalui forum UNCTAD, Indonesia
bersama negara berkembang lainnya dapat memperoleh fasilitas GSP. Adapun da¬lam
rangka menggalang kerja sama antar negara berkembang telah dirintis adanya
Global System of Trade Preferences (GSTP) dan State Trading Organization (STO).
Forum lainnya di mana Indonesia
aktif memainkan peranan¬nya adalah Organisasi Konperensi Islam (OKI). Kerja
sama ini semula lebih berorientasi politik, dalam perkembangannya te¬lah
mengarah pula ke dalam masalah-masalah ekonomi dan perdagangan. Sebagai
hasilnya Indonesia
telah meratifikasi "Sta¬tus Agreement on Promotion, Protection and
Guarantee of Investment". Dalam rangka program komoditi terpadu UNCTAD, Indonesia
turut dalam perundingan-perundingan untuk terwujud¬nya stabilisasi harga
komoditi-komoditi di pasaran internasional seperti kopi, karet, kayu lapis,
coklat, jute, dan produknya.
Usaha lainnya yang dilakukan untuk mendorong peningkatan ekspor ialah
mengkaitkan pembelian barang kebutuhan Pemerin¬tah dari luar negeri dengan
kewajiban membeli barang ekspor dari Indonesia atau disebut
kebijaksanaan imbal beli. Kebi¬jaksanaan imbal beli ini merupakan salah satu
bagian dari sistem "counter trade". Kebijaksanaan imbal beli mulai
di¬berlakukan pertama kali pada tahun 1982. Pada tahun pertama kebijaksanaan
tersebut dimulai, hanya terdapat 10 negara yang melakukan kegiatan imbal beli
dengan Indonesia, tetapi pada tahun 1986 meningkat menjadi 25 negara. Nilai
realisasinya juga meningkat dari US$ 130 juta pada tahun 1982 menjadi US$ 1,4
milyar pada tahun 1987.
Jenis komoditi yang banyak dibe¬li oleh perusahaan asing yang dikenakan
kewajiban imbal beli terutama adalah komoditi yang mudah dipasarkan dan
permintaannya di pasaran dunia cukup besar, seperti karet, kayu olah¬an, ikan
tuna dan udang. Cara yang juga sudah diterapkan dalam perdagangan imbal beli di
Indonesia,
khususnya dalam peng¬adaan peralatan produksi dengan teknologi tinggi adalah
cara "offset" dan "pay back". Cara "offset"
menentukan bahwa untuk setiap pengadaan peralatan yang diimpor, pemasok
diwajibkan untuk menggunakan komponen produksi dalam negeri. Sedangkan cara
"pay back" menentukan bahwa pembayaran kembali terhadap investasi
yang telah ditanamkan dilakukan dengan hasil pro¬duksi dari perusahaan yang bersangkutan.
Di samping kebijaksanaan-kebijaksanaan di atas telah di¬tempuh beberapa
kebijaksanaan yang menyangkut kelembagaan dan lembaga penunjang. Dalam Repelita
IV telah berhasil diben-tuk Bursa Komoditi Indonesia yang berfungsi untuk
meningkatkan keteraturan perdagangan melalui sistem pemasaran yang tertib,
teratur dan transparan. Dengan sistem tersebut diharapkan dapat mendorong
terciptanya kepastian berusaha, perlindungan yang lebih besar untuk
kelangsungan usaha produ¬sen, peningkatan pendapatan, khususnya pendapatan
petani pro¬dusen. Dengan pelaksanaan sistem tersebut pada gilirannya akan
membantu meningkatkan penghasilan devisa.
Bursa Komoditi Indonesia
mulai melakukan kegiatannya pa¬da tahun 1985 dengan perdagangan fisik karet.
Kemudian, pada tahun 1986, diperluas dengan perdagangan fisik kopi. Dalam
rangka deregulasi dan debirokratisasi, Bursa Komoditi Indone¬sia berfungsi pula
sebagai sarana pelaksanaan dari kebijaksanaan Pemerintah. Di samping kegiatan
tersebut di atas, Bursa Komoditi Indonesia juga melakukan kegiatan promosi baik
di dalam maupun di luar negeri, membantu menyelesaikan sengketa dagang melalui
arbitrase yang dibentuk oleh Bursa Komoditi Indonesia dan membantu industri
barang jadi hasil karet me¬lalui pemberian fasilitas pembayaran di muka (bridging
financing).
Fasilitas penunjang lainnya yang telah dibentuk adalah Kawasan Berikat
Nusantara (KBN), yang menyediakan tempat beserta segala fasilitas dan
kemudahannya guna menunjang eksportir untuk memproduksi dan mengekspor barang
agar daya saingnya meningkat.
Berbagai upaya peningkatan ekspor komoditi-komoditi non migas tersebut telah
memberikan hasil yang menggembirakan, berupa meningkatnya ekspor komoditi non
migas selama Repe¬lita IV. Nilai ekspor di luar migas telah meningkat dari US$
5.367 juta pada tahun terakhir Repelita III menjadi US$ 11.225 juta pada tahun
terakhir Repelita IV. Dengan demikian selama kurun waktu Repelita IV, laju
pertumbuhan nilai ekspor di luar migas mencapai 15,9% per tahun, yang terdiri
atas nilai ekspor komoditi pertanian dengan laju pertumbuhan sebesar 6,7% per
tahun, nilai ekspor komoditi pertambangan dengan la¬ju pertumbuhan sebesar 7,9%
per tahun dan nilai ekspor komoditi industri dengan laju pertumbuhan sebesar
28,2% per tahun.
Seperti telah disebutkan di muka kebijaksanaan impor di¬tujukan untuk menjamin
impor barang dan jasa yang sangat di¬perlukan di berbagai sektor; untuk
mendorong pertumbuhan pro¬duktivitas industri dalam negeri, baik industri yang
berorientasi ekspor maupun industri substitusi impor dan untuk mengendalikan
penggunaan devisa. Sasaran tersebut dicapai melalui kebijaksanaan pelaksanaan
yang bersifat tidak lang¬sung yaitu dengan mengurangi peraturan-peraturan tata
niaga dan menggantikannya dengan kebijaksanaan tarif. Dalam tahun 1985 tingkat
tarif maksimum telah diturunkan dari 225% menjadi 60%, sedang jumlah golongan
tarif diturunkan dari 26 menjadi 16. Struktur tarif tersebut telah mengalami
banyak perubahan-perubahan melalui berbagai paket kebijaksanaan de¬regulasi
yang dikeluarkan sejak tahun 1986 sampai dengan ta¬hun 1988. Beberapa jenis
barang dikenakan pembebasan, keringanan atau kenaikan bea masuk dan beberapa
jenis barang lainnya dikenakan bea masuk tambahan. Pembebasan dan ke¬ringanan
bea masuk dimaksudkan untuk melancarkan impor barang-barang penting yang
diperlukan oleh berbagai sektor ter¬masuk untuk peningkatan ekspor; sedangkan
kenaikan bea masuk, pengenaan bea masuk tambahan dimaksudkan sebagai pengganti
penghapusan hambatan non tarif untuk barang-barang yang masih memerlukan
perlindungan.
Sebagai hasil dari kebijaksanaan tersebut maka berbagai sektor telah mengalami
kemajuan yang menggembirakan seperti yang antara lain tercermin dari
peningkatan ekspor hasil-ha¬sil industri. Keberhasilan tersebut tercermin pula
dari perubahan struktur impor, yakni penurunan pangsa impor barang¬- barang
konsumsi dari seluruh nilai impor dan kenaikan pangsa impor bahan baku dan penolong serta
kenaikan pangsa impor barang modal.
Hambatan Perdagangan antar Negara
Hambatan perdagangan adalah regulasi atau peraturan pemerintah yang membatasi
perdagangan bebas.
Bentuk-bentuk hambatan perdangangan antara lain:
• Tarif atau bea cukai. Tarif adalah pajak produk impor.
• Kuota. Kuota membatasi banyak unit yang dapat diimpor untuk membatasi jumlah
barang tersebut di pasar dan menaikkan harga.
• Subsidi. Subsidi adalah bantuan pemerintah untuk produsen lokal. Subsidi
dihasilkan dari pajak. Bentuk-bentuk subsidi antara lain bantuan keuangan,
pinjaman dengan bunga rendah dan lain-lain.
• Muatan lokal.
• Peraturan administrasi.
• Peraturan antidumping.
Hambatan perdangan mengurangi efisiensi ekonomi, karena masyarakat tidak dapat
mengambil keuntungan dari produktivitas negara lain. Pihak yang diuntungkan
dari adanya hambatan perdangan adalah produsen dan pemerintah. Produsen
mendapatkan proteksi dari hambatan perdagangan, sementara pemerintah
mendapatkan penghasilan dari bea-bea.
Argumen untuk hambatan perdangan antara lain perlindungan terhadap industri dan
tenaga kerja lokal. Dengan tiadanya hambatan perdangan, harga produk dan jasa
dari luar negeri akan menurun dan permintaan untuk produk dan jasa lokal akan
berkurang. Hal ini akan menyebabkan matinya industri lokal perlahan-lahan.
Alasan lain yaitu untuk melindungi konsumen dari produk-produk yang dirasa
tidak patut dikonsumsi, contoh: produk-produk yang telah diubah secara
genetika.
Di Indonesia, hambatan perdagangan banyak digunakan untuk membatasi impor
pertanian dari luar negeri untuk melindungi petani dari anjloknya harga lokal.
Perkembangan Neraca Pembayaran
Kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri selama empat tahun
Repelita V sangat dipengaruhi oleh tantangan yang timbul dari perkembangan
situasi politik, ekonomi dan moneter dunia.
Selama dasawarsa 1980-an, perekonomian dunia mencapai rekor pertumbuhan
tertinggi pada tahun 1988, yaitu sebesar 4,6%. Setelah itu, perekonomian dunia
mengalami kemerosotan hingga mencapai 0,6% pada tahun 1991. Namun dalam tahun
1992 perekonomian dunia mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan
pertumbuhan sebesar 1,8 % . Dalam tahun 1992, negara-negara industri dan
negara-negara berkembang masing-masing tumbuh sebesar 1,5 % dan 6, 1 %. Ini
merupakan suatu perbaikan dari tahun 1991 sewaktu kelompok-kelompok negara ini,
mencapai pertumbuhan masing-masing sebesar 0,6% dan 4,2%. Di antara
negara-negara berkembang tersebut, kelompok negara di Asia
dapat mempertahankan laju pertumbuhan ekonominya yang cukup tinggi, bahkan
mengalami peningkatan pertumbuhan dari 5,8% menjadi 7,9 % . Peningkatan cukup
besar ini juga diikuti oleh negara-negara berkembang di Timur Tengah yang
pertumbuhannya meningkat dari 2,1 % pada tahun 1991 menjadi 9,9% pada tahun
1992. Sementara itu, negara-negara di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet terus
mengalami kemerosotan yang makin parah dalam produksi nasionalnya. Pada tahun
19.91 kelompok negara-negara ini ekonominya mengalami penurunan sebesar 10,1 %
dan pada tahun 1992 mengalami penurunan yang lebih besar lagi, yaitu 15,5% .
Perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang Eropa Timur dan negara-negara
bekas Uni Soviet perlu terus diamati mengingat di masa depan kelompok negara
ini akan menjadi saingan yang cukup berat bagi negara-negara berkembang,
apabila mereka telah selesai dengan tahap konsolidasinya dan ekonominya tumbuh
kembali.
Seiring dengan peningkatan produksi dunia, laju pertumbuhan perdagangan
internasional juga mengalami peningkatan dari 2,3% dalam tahun 1991 menjadi
4,2% dalam tahun 1992. Volume ekspor dan impor negara-negara industri dalam
tahun 1992 meningkat masing-masing sebesar 3,2% dan 4,0%, begitu pula volume
ekspor dan impor negara-negara berkembang yang meningkat menjadi 8,4% dan 10,2%
dalam tahun 1992.
Sementara itu harga minyak bumi di pasaran internasional mengalami penurunan
sebesar 0,5 % selama tahun 1992. Namun demikian, penurunan ini tidak sebesar
penurunan yang terjadi pada tahun 1991 yaitu sebesar 17,0%. Begitu pula harga
komoditi primer lainnya seperti kopi, karet, dan hasil-hasil tambang merosot
dengan 0,1% pada tahun 1992. Perkembangan ini menyebabkan turunnya nilai tukar
perdagangan untuk negara-negara berkembang. Dalam tahun tersebut nilai tukar
perdagangan menurun sebesar 1,4% untuk negara-negara berkembang, sedangkan
untuk negara-negara industri justru meningkat sebesar 1,8%.
Secara keseluruhan dalam tahun 1992 negara-negara industri mengalami kenaikan
dalam defisit transaksi berjalan menjadi US$ 38,5 miliar. Untuk negara-negara
berkembang defisit transaksi berjalan sedikit menurun dari US$ 81,9 miliar pada
tahun 1991 menjadi US$ 78,4 miliar pada tahun 1992.
Berakhirnya perang dingin, restrukturisasi sistem ekonomi dan politik nasional
di berbagai negara serta proses regionalisasi merupakan peristiwa-peristiwa
penting yang dampaknya pada tatanan ekonomi dunia baru masih belum jelas dan
perlu terus diamati. Perkembangan yang cukup penting adalah penyatuan
Masyarakat Ekonomi Eropa yang dicanangkan pada pertemuan puncak Maastricht di bulan
Desember 1991. Pertemuan puncak ter-sebut diadakan dalam rangka melicinkan
jalan pembentukan Masya¬rakat Eropa ke dalam satu unit politik, ekonomi dan
moneter (EMU) yang direncanakan terbentuk pada tahun 1999. Tujuan utama
pem¬bentukan Masyarakat Eropa adalah untuk meningkatkan kesejahtera¬an sosial
dan ekonomi yang harmonis dan berkelanjutan dengan men¬ciptakan suatu kawasan
tanpa batas internal serta terciptanya suatu unit ekonomi dan moneter dengan
menggunakan satu mata uang.
Seiring dengan itu, dalam bulan Agustus 1992 ditandatangani Persetujuan
Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) oleh negara-negara Amerika Serikat,
Kanada dan Meksiko, yang akan menjadi efektif pada Januari 1994. Tujuan
pembentukan NAFTA tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan kesempatan kerja melalui usaha menghilangkan berbagai hambatan
perdagangan, menciptakan iklim untuk mendorong persaingan yang adil,
meningkatkan peluang investasi, memberikan perlindungan terhadap hak milik
intelektual, dan menciptakan prosedur yang efektif dalam penyelesaian
perselisihan perdagangan antara ketiga negara anggotanya.
Dalam pada itu, perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka Putaran Uruguay
pada tahun 1992 masih tetap mengalami hambatan. Belum terdapatnya kesepakatan
mengenai perdagangan hasil-hasil pertanian antara Amerika Serikat, Masyarakat
Ekonomi Eropa dan Jepang merupakan penyebab utama kemacetan perundingan
tersebut. Terhambatnya kesepakatan GATT ini mempengaruhi prospek terciptanya
perdagangan dunia yang terbuka, transparan dan mempunyai aturan disiplin yang
efektif.
Sejalan dengan itu, berbagai upaya terus dilakukan dalam rangka penyesuaian
tujuan dan organisasi berbagai forum kerja sama internasional, termasuk UNCTAD
dan Gerakan Non Blok. Pada bulan September 1992, di Jakarta diadakan Konperensi
Tingkat Tinggi Ke-10 Gerakan Non Blok. Melalui Pesan Jakarta, gerakan tersebut
menyerukan agar dilakukan demokratisasi dalam hubungan antar negara dan
dihidupkan kembali dialog Utara-Selatan secara konstruktif.
Sementara itu, kerja sama antara negara-negara anggota ASEAN terus
dikembangkan. Terdorong oleh berbagai perubahan struktural dalam perekonomian
dunia dan untuk menghadapi kejadian semakin meluasnya blok-blok perdagangan
dengan kecenderungan ke arah proteksionisme, negara-negara yang tergabung dalam
ASEAN pada tahun 1991 sepakat untuk mempercepat langkah-langkah kerja sama ke arah
integrasi ekonomi. Sehubungan dengan itu, pada tahun 1992 disetujui Perjanjian
mengenai Tarif Preferensial Efektif Seragam (CEPT) menuju Wilayah Perdagangan
Bebas ASEAN (AFTA), yang efektif mulai berlaku tanggal 1 Januari 1993.
PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri
Selama empat tahun pelaksanaan Repelita V, berbagai kebijaksanaan di bidang
perdagangan dan keuangan luar negeri telah diambil dengan tujuan untuk
mempertahankan momentum pembangunan nasional, antara lain kebijaksanaan
deregulasi dan debirokratisasi.
Dalam tahun 1992/93, langkah-langkah deregulasi yang ditempuh antara lain
berupa penyederhanaan tata niaga ekspor dan impor melalui pengenaan pajak
ekspor dan pajak ekspor tambahan, penurunan dan penghapusan bea masuk dan bea
masuk tambahan komoditi tertentu, peninjauan kembali Daftar Negatif Investasi
(DNI), dan penyederhanaan tata cara penanaman modal. Di bidang ekspor, melalui
Paket 27 Mei 1992, larangan ekspor beberapa komoditi seperti kayu bulat/log
dalam bentuk ter¬tentu, kayu ramin, serta meranti putih dan agathis bentuk
tertentu, telah diganti dengan pengenaan Pajak Ekspor (PE) dan atau Pajak
Ekspor Tambahan (PET). Sedangkan kulit mentah jenis tertentu yang sebelumnya
dikenakan pajak ekspor secara persentase diganti dengan pajak ekspor yang
dihitung secara spesifik. Selain itu, ketentuan larangan ekspor rotan juga
mengalami penyederhanaan. Mulai Juni 1992, larangan ekspor rotan dalam bentuk
bahan mentah dan barang setengah jadi diganti dengan pengenaan pajak ekspor dan
atau pajak ekspor tambahan.
Untuk memperlancar arus barang dalam rangka menunjang kegiatan ekonomi, mulai
bulan Juli 1992 PT Sucofindo ditunjuk sebagai pemeriksa barang eskpor dan
barang yang dimasukkan/dikeluarkan ke dan dari kawasan berikat di seluruh
Indonesia. Di samping itu, dilakukan pula penyempurnaan tata cara penyampaian
laporan realisasi ekspor dan tata cara pemberian fasilitas ekspor oleh Badan
Pelayanan Kemudahan Ekspor dan Pengolahan Data Keuangan (Bapeksta Keuangan).
Dalam pada itu, terhitung mulai bulan Oktober 1992 produsen pengekspor barang
tidak perlu membuat Laporan Keterkaitan (LK), yang merupakan laporan pemakaian
barang dan bahan impor untuk memproduksi komoditi ekspor, guna memperoleh
pembebasan dan pengembalian bea masuk ataupun pungutan lainnya. Sejak waktu
itu, Laporan Keterkaitan (LK) diganti menjadi Laporan Pemakaian Bahan (LPB)
yang diterbitkan oleh surveyor yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Tata niaga ekspor kayu (maniok) ke negara-negara Masyarakat Eropa (ME) juga
diatur kembali. Mulai bulan Oktober 1992 kuota ekspor maniok untuk tahun 1993
ke negara-negara ME dibagikan secara proporsional ke masing-masing eksportir
berdasarkan kinerja sebelumnya dan atau kemampuan eksportir untuk mengekspor
maniok ke negara-negara di luar ME yang dibuktikan dengan "Landing
Certificate" yang dikeluarkan oleh instansi Bea dan Cukai di pelabuhan
negara tujuan dan "Loading Certificate" yang dikeluarkan oleh PT
Sucofindo. Pengaturan kembali tata niaga ini dilakukan untuk lebih meringankan
persyaratan bagi eksportir dalam mengekspor maniok ke nagara-negara ME.
Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan ekspor non migas, perluasan pasaran
ekspor terus digalakkan. Dalam tahun 1992/93 dilaksanakan pengiriman berbagai
misi dagang ke luar negeri, pameran-pameran dagang di luar negeri serta
kegiatan promosi untuk menarik importir luar negeri berkunjung ke Indonesia.
Khusus dalam usaha pemasaran barang kerajinan, pada bulan Juli 1992 Indonesia
mengikuti pameran California Gift Show di Amerika Serikat.
Selain itu, untuk menjaga kesinambungan dan memperluas akses produk ekspor,
peran aktif Indonesia
di berbagai forum interna-sional, baik hubungan bilateral, regional dan
multilateral terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini, Indonesia berpartisipasi
aktif dalam negosiasi Putaran Uruguay (GATT), Konperensi Perdagangan dan
Pembangunan PBB (UNCTAD), kerja sama ekonomi ASEAN dan berbagai forum kerja
sama internasional seperti Organisasi Kopi Internasional (ICO), Asosiasi Negara-negara
Penghasil Karet Alam (ANRPC), Asosiasi Negara Produsen Timah (ATPC), dan
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Khusus mengenai timah, untuk menjaga kestabilan harga timah di pasaran dunia,
negara-negara anggota ATPC dalam sidangnya di Jakarta pada bulan September 1992
telah sepakat membatasi ekspor timah selama tahun 1993 menjadi 2,7% lebih
tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu menjadi 89.400 ton. Dalam
kaitan itu, Indonesia
memperoleh jatah kuota ekspor timah sebesar 30.500 ton selama tahun 1993, atau
naik 9,0% dibanding kuota tahun 1992.
Dalam pertemuan puncak di Singapura pada bulan Januari 1992, negara-negara
ASEAN sepakat untuk lebih mengintegrasikan ekonomi ASEAN yang dijabarkan dalam
bentuk Kerangka Perjanjian untuk Meningkatkan Kerja Sama Ekonomi ASEAN
(Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation). Program ini
ditujukan untuk mewujudkan integrasi yang diawali dengan kese-pakatan untuk
secara bertahap, yaitu mulai 1 Januari 1993 menerap-kan Tarif Preferensial
Efektif •Seragam (CEPT) yang diarahkan pada pembentukan kawasan perdagangan
bebas ASEAN (AFTA). Untuk itu, dalam tahun 1992 telah ditetapkan dua program
penurunan tarif, yaitu program penurunan tarif yang dipercepat (Fast Track) dan
program penurunan tarif normal (Normal Track). Program penurun-an tarif yang
dipercepat meliputi 15 kelompok produk yang telah disepakati. Berdasarkan
program tersebut, produk-produk tertentu yang tarifnya di atas 20% akan
diturunkan menjadi 0-5% dalam waktu 10 tahun. Kemudian untuk komoditi yang
mempunyai tarif lebih kecil atau sama dengan 20% akan dikurangi menjadi 0-5%
dalam waktu 7 tahun. Sementara itu melalui program penurunan tarif normal,
komoditi yang mempunyai tarif di bawah 20 % akan dikurangi hingga menjadi 0-5%
dalam waktu 10 tahun. Komoditi yang bertarif di atas 20% akan dikurangi dalam
dua tahap, yaitu tahap pertama menjadi 20% dalam waktu 5-8 tahun dan tahap
kedua dikurangi lagi menjadi 0-5 % dalam waktu 7 tahun berikutnya.
Sebagai kelanjutan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan deregu-lasi sebelumnya,
Pemerintah mengeluarkan Paket 6 Juli 1992 guna membebaskan dan melonggarkan
tata niaga. beberapa komoditi impor, menyempurnakan mekanisme bea masuk dan bea
masuk tambahan terhadap komoditi tertentu, serta menyederhanakan tata niaga
impor mesin, peralatan dan barang modal bekas pakai.
Untuk lebih memperlancar arus barang dan pengadaan bahan baku, bahan penolong
dan sarana usaha, sebanyak 241 pos tarif yang terdiri dari 12 pos tarif produk
pertanian, 226 pos tarif produk batik dan 3 pos tarif produk industri
dibebaskan dari tata niaga impor. Sementara itu dari 464 pos tarif yang masih
diatur tata niaganya, sebanyak 36 pos tarif untuk produk besi dan baja
dilonggarkan.
Di samping itu, tingkat bea masuk dan bea masuk tambahan barang-barang impor
disesuaikan. Untuk tingkat bea masuk, sebanyak 35 pos tarif dinaikkan, 44 pos
tarif diturunkan dan 2 pos tarif diubah klasifikasinya. Sedangkan tingkat bea
masuk tambahan sebanyak 80 pos tarif dinaikkan, 81 pos tarif diturunkan, dan
sebanyak 184 pos tarif dihapuskan. Selanjutnya tata niaga, klasifikasi tarif,
tingkat bea masuk dan tingkat bea masuk tambahan barang-barang impor seperti
karpet dan permadani, produk kimia dan tekstil tertentu, serta komponen/suku
cadang untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat terbang disempurnakan kembali.
Untuk menumbuhkan usaha jasa industri baru dalam kemam-puan rekondisi mesin
sekaligus mengurangi biaya investasi, impor mesin, peralatan dan barang modal
bekas pakai dibebaskan. Dengan demikian mulai bulan Juli 1992 barang-barang
tersebut, selama tidak tercantum dalam daftar negatif yang disusun oleh
Departemen Per-industrian, dapat diimpor langsung oleh perusahaan pemakai
ataupun oleh perusahaan rekondisi. Sedangkan pemeriksaan atas barang-barang impor
tersebut dilakukan oleh PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia.
Selanjutnya untuk meningkatkan tertib administrasi, peng-awasan dan pengamanan
dokumen impor, pada bulan Pebruari 1993 bentuk dan isi dokumen Pemberitahuan
Impor Untuk Dipakai (PIUD) disempurnakan. Terhitung 60 hari sejak
dikeluarkannya kebijaksanaan tersebut, dokumen PIUD dapat dibedakan menjadi 8
jenis sesuai dengan jenis fasilitas impor yang diperoleh.
Di samping itu untuk menunjang penanaman modal, mening-katkan perdagangan dalam
negeri dan luar negeri, serta untuk me-ningkatkan kegiatan ekonomi, pada bulan
Pebruari 1993 diberla-kukan ketentuan khusus mengenai Entreport Produksi Untuk
Tujuan Ekspor (EPTE), suatu tempat atau ruang di wilayah pabean Indone-sia
untuk penyimpanan barang (warehousing) dan pengolahan barang. Mulai bulan
tersebut, diberlakukan ketentuan-ketentuan khusus yaitu: (1) Bea Masuk (BM),
Bea Masuk Tambahan (BMT), Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah (PPn BM) terhadap barang yang dimasukkan dari luar daerah
pabean ditangguhkan; (2) Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) tidak
dipungut; sedangkan (3) untuk penyerahan dalam negeri penye¬lesaian
pungutan-pungutan yang terhutang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Perusahaan atau industri yang dapat ditetapkan sebagai EPTE adalah perusahaan
yang berdomisili di luar ataupun di dalam Kawasan Industri di wilayah pabean Indonesia.
Khusus mengenai pinjaman luar negeri, pada bulan Maret 1992 Pemerintah
Indonesia mengambil keputusan untuk mem-bubarkan Inter Governmental Group on
Indonesia (IGGI) yang dike-tuai oleh pemerintah Belanda. Sikap tegas tersebut
menunjukkan bahwa Indonesia
selalu berpegang teguh kepada pedoman bahwa pinjaman luar negeri tidak boleh
disertai dengan ikatan politik, seba-gaimana ditetapkan dalam GBHN. Sebagai
gantinya dibentuk Con-sultative Group for Indonesia (CGI) yang diketuai oleh
Bank Dunia.
Di bidang jasa jasa, usaha untuk meningkatkan penerimaan devisa dan sekaligus
menghemat penggunaannya terus dilanjutkan. Di antara jasa jasa, pariwisata
merupakan sumber penerimaan devisa yang makin penting. Untuk itu Indonesia
aktif berpartisipasi dalam forum kepariwisataan internasional seperti
Tournament of Roses di Amerika Serikat, PATA 1992 di Taiwan, dan World Expo 1992
di Spanyol. Di tingkat nasional tahun 1991 telah ditetapkan sebagai Tahun
Kunjungan Wisata Indonesia yang dilanjutkan dengan Tahun Kunjungan ASEAN 1992.
Selanjutnya telah ditetapkan pula Dekade Kunjungan Indonesia tahun 1993 sampai
tahun 2000. Di samping sektor pariwisata, terus diusahakan peningkatan
penerimaan devisa di bidang jasa jasa baru seperti transfer penghasilan dari
tenaga kerja Indonesia di luar negeri serta jasa perawatan dan bengkel pesawat
terbang milik Garuda Indonesia.
Untuk mendorong penanaman modal swasta, baik Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA), ketentuan-ketentuan mengenai
penanaman modal disempurnakan lagi. Paket kebijaksanaan bulan Juli 1992
meliputi antara lain penyederhanaan Daftar Negatif Investasi (DNI), pengaturan
kembali tata cara penanaman modal, dan.penyempurnaan tentang pemanfaatan tanah
hak guna usaha dan hak guna bangunan untuk usaha patungan dalam rangka
penanaman modal asing. SeLanjutnya paket kebijaksanaan ini juga mengatur proses
penyelesaian izin kerja bagi tenaga kerja, asing yang keahliannya belum
sepenuhnya dapat diisi oleh tenaga Indonesia.
2. Perkembangan Neraca Pembayaran
Situasi neraca pembayaran selama empat tahun pelaksanaan Repelita V secara umum
tetap terkendali dalam batas-batas yang wajar. Perkembangan neraca pembayaran
tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekspor, impor dan arus modal luar
negeri.
Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V nilai ekspor secara
keseluruhan meningkat rata-rata sebesar 15,5% per tahun, dari US$ 19,8 miliar
pada tahun 1988/89 menjadi US$ 35,3 miliar pada tahun 1992/93 (lihat Tabel
V-1). Peningkatan pertumbuhan ini terutama berasal dari laju pertumbuhan ekspor
non migas yang meningkat rata-rata 19,5% per tahun sehingga mencapai US$ 24,8
miliar pada tahun 1992/93. Namun peningkatan laju pertumbuhan ekspor non migas
yang pesat ini tidak dibarengi dengan laju pertumbuhan ekspor minyak bumi dan
gas alam cair. Selama kurun waktu tersebut, ekspor minyak bumi dan gas alam cair
masing-masing hanya meningkat rata-rata sebesar 6,2% dan 11,8% per tahun, atau
masing-masing menjadi sebesar US$ 6,4 miliar dan US$ 4,1 miliar pada tahun
1992/93.
Sementara itu, peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor keseluruhan semakin
mantap sehingga semakin mampu berperan sebagai sumber penerimaan devisa utama.
Dalam tiga tahun terakhir ini, peranan ekspor non migas dalam nilai ekspor
keseluruhan terus meningkat dari 54,6% pada tahun 1990/91 menjadi 64,0% pada
tahun 1991/92 dan menjadi 70,3 % pada tahun 1992/93.
Dalam pada itu, nilai impor keseluruhaq (f.o.b.) selama empat tahun pelaksanaan
Repelita V bervariasi -sejalan dengan kegiatan industri dan investasi di dalam
negeri. Pada tahun 1992/93 nilai impor keseluruhan mencapai sebesar US$ 27,3 miliar,
atau meningkat rata-rata sebesar 17,5% per tahun sejak tahun 1988/89. Dalam dua
tahun pertama pelaksanaan Repelita V, suhu perekonomian Indonesia meningkat dan
hal ini antara lain tercermin dalam peningkatan impor barang, terutama impor
bahan baku/ penolong dan barang modal, yang cukup besar. Nilai impor non migas
dalam tahun 1989/90 naik dengan 21,3% dan naik lagi dengan 31,0% dalam tahun
1990/91. Dengan langkah-langkah penyejukan mesin perekonomian yang ditempuh
waktu itu, laju pertumbuhan nilai impor non migas dalam dua tahun terakhir
dapat diturunkan menjadi 11,4% pada tahun 1991/92 dan 9,7% pada tahun 1992/93.
Pengeluaran devisa neto untuk jasa jasa naik rata-rata sebesar 9,4% per tahun
dari sebesar US$ 7,4 miliar pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 10,5 miliar
pada tahun 1992/93. Kenaikan ini terutama berasal dari jasa jasa sektor non
migas dan sektor gas alam cair yang masing-masing meningkat rata-rata sebesar
10,1 % dan 15,3 % per tahun. Dalam kurun waktu yang sama, penerimaan jasa jasa
dari sektor pariwisata meningkat cukup pesat yaitu dari sebesar US$ 1,4 miliar
pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 3,3 miliar pada tahun 1992/93.
Perkembangan ekspor dan impor barang dan jasa tersebut di atas mengakibatkan
besarnya defisit transaksi berjalan Indonesia dari tahun ke tahun bervariasi.
Pada tahun 1988/89 defisit transaksi ber-jalan adalah sebesar US$ 1,9 miliar,
dan karena peningkatan suhu perekonomian jumlah ini meningkat menjadi US$ 3,7
miliar pada tahun 1990/91 dan US$ 4,4 miliar pada tahun 1991/92. Selanjutnya
defisit transaksi berjalan turun menjadi US$ 2,6 miliar pada tahun 1992/93.
Dalam 5 tahun terakhir, pinjaman di sektor Pemerintah turun dari US$ 6.588 juta
pada tahun 1988/89 menjadi US$ 5.755 juta pada tahun 1992/93. Hal ini
dimungkinkan oleh keberhasilan peningkatan ekspor non migas dan mobilisasi
sumber-sumber dana dari dalam negeri. Pinjaman terbesar diperoleh dalam bentuk
bantu-an proyek bersyarat lunak, di samping bentuk-bentuk pinjaman lain-nya dan
bantuan program. Sementara itu, karena banyak pinjaman yang sudah jatuh waktu,
pelunasan pfnjaman Pemerintah naik dari US$ 3,8 miliar pada tahun 1988/89
menjadi US$ 4,8 miliar pada tahun 1992/93.
Di sektor swasta, pemasukan modal (neto) sejak tahun 1988/89 menunjukkan
peningkatan cukup cepat sampai dengan tahun 1990/91, kemudian melambat berkat
adanya kebijaksanaan pengen-dalian moneter untuk mendinginkan suhu
perekonomian. Di antara transaksi modal tersebut penanaman modal asing
meningkat pesat dari US$ 878 juta dalam tahun 1988/89 menjadi hampir US$ 2,5
miliar dalam tahun 1992/93. Dalam tiga tahun terakhir modal lain-nya (neto)
mengalami penurunan cukup besar yaitu dari US$ 3,6 miliar pada tahun 1990/91
menjadi sebesar US$ 1,3 miliar pada tahun 1992/93.
Semua perkembangan tersebut di atas telah menyebabkan cadangan devisa meningkat
dari US$ 6.011 juta pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 11.981 juta pada
akhir tahun 1992/93. Jumlah cadangan devisa ini cukup untuk membiayai impor (c
& f) non migas selama 5,5 bulan.
4. Peran kurs Valuta Asing
Bursa valuta asing (Inggris: foreign exchange market, forex) atau disingkat
bursa valas merupakan suatu jenis perdagangan atau transaksi yang
memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya
(pasangan mata uang/pair) yang melibatkan pasar-pasar uang utama di dunia
selama 24 jam secara berkesinambungan.
Pergerakan pasar valuta asing berputar mulai dari pasar Selandia Baru dan
Australia yang berlangsung pukul 05.00–14.00 WIB, terus ke pasar Asia yaitu
Jepang, Singapura, dan Hongkong yang berlangsung pukul 07.00–16.00 WIB, ke
pasar Eropa yaitu Jerman dan Inggris yang berlangsung pukul 13.00–22.00 WIB,
sampai ke pasar Amerika Serikat yang berlangsung pukul 20.30–10.30 WIB. Dalam
perkembangan sejarahnya, bank sentral milik negara-negara dengan cadangan mata
uang asing yang terbesar sekalipun dapat dikalahkan oleh kekuatan pasar valuta
asing yang bebas.
Menurut survei BIS (Bank International for Settlement, bank sentral dunia),
yang dilakukan pada akhir tahun 2004, nilai transaksi pasar valuta asing
mencapai lebih dari USD$1,4 triliun per harinya. Mengingat tingkat likuiditas
dan percepatan pergerakan harga yang tinggi tersebut, valuta asing juga telah
menjadi alternatif yang paling populer karena ROI (return on investment atau
tingkat pengembalian investasi) serta laba yang akan didapat bisa melebihi
rata-rata perdagangan pada umumnya. Akibat pergerakan yang cepat tersebut, maka
pasar valuta asing juga memiliki risiko yang tinggi.
Sumber :
http://kemotzlee.blogspot.com/2010/11/perdagangan-antar-negara.html